Judul :
Jangan pernah takut untuk memulai, kalau ingin tau seperti apa akhirnya.
Setelah sekian lama terlupakan..
Kucoba kumpulkan kembali kata kata yg hilang..
Entah dari mana harus mengawali lagi....
Ketika hendak memulaipun harus kehilangan.
Hilang harta benda bisa dicari , Hilang ide tak mungkin kembali.
Sumber inspirsi;
Kehilangan itu menyakitkan.. apapun bentuknya, karena kehilangan bagiku adalah terpisahnya rasa dgn raga..
***
Membangun inspirasi tak semudah membangunkan macan tidur.., tapi tak seberbahaya membangunkan harimau mendengkur..
Bukti dari sebuah ide menjadi tekad bersama untuk membangun sebuah komitmen.
"Bangun pagi sebelum ayam patuk rejeki".
***
YUK..IKUTI NGEDRAPNYA..CERITA Yang Tak BERSAMBUNG Tentang :MENCARI CATATAN YG HILANG ".
***
Mulai dengan catatanku yg hilang.
Sesuatu terus mengusik pikiranku. Aku rindu yg hilang darimu, yg pernah kau catatkan padaku diatas selembar kertas pembungkus nasi, yang habis kulalap isinya, tahu tempe sayur kangkung dan ikan asin kegemaranku.lahap, kulumat habis, sedang yg kau pinta hanya selembaran pembungkusnya, dan kau catatkan untuku..
Masih ingat aku kau tulis apa ? kala itu ..."Aku akan rindu yg tersirat, karena kelak kita akan tinggalkan semua yg tersurat..".
Seperti itu yg ku ingat dari goresanmu diatas pembungkus nasi.
Itu tujuh tahun yg silam.
Kini aku disini, tempat kita bersama bungkus nasi..
Kini aku sendiri, tanpamu dan kertas pembungkus itu.
Seperti kala itu juga, dihalte ini aku duduk, sendiri tak juga berteman penantian, karena ku tak tau dimana duduk atau berbaringmu kini.. sedang menangis atau tertawa..tak ada bisa kulintas dalam bayangku.
Pukul 5, sore ini temaram..
"Ah..tanpamu kotapun sepertinya tak ramah lagi..
Semarak kotapun lunglai, seketika barisan layaknya serdadu tak berpangkat,garang menyerang, kaki lima berhamburan cari selamat , tongkat tongkat rotan diayun ayun , puluhan petugas berseragam coklat muda mengejar kesana kemari, tertangkaplah nenek tua penjual serit, sisir dan sikat wc. seiring tangis anak pengemis..
Itulah situasi depan terminal yang sempat kupandangi dari kejauhan, saat pembongkaran lapak lapak liar ditepi Jl Juanda. Kota kecilku.
Semakin kuingat kamu, semakin masiv rasa kehilanganku..
***
Menyambung hari kemarin, kembali kususuri kota tua. Tempat kita sering kali menghabiskan malam minggu.
Lampu lampu gemerlap pasar malam, membuat warna warni kemeriahan malam kota. Sesekali bunyi gemerincing bebunyian becak antik saat melintas.
Aku ingat kalau kau juga suka naik becak dan kau katakan juga,itu kendaraan antik favoritmu..
Kenanganku tentang becak favoritmu membawaku menghampiri mang Kardi..
"Semoga saja dia masih ada.."pikirku beranjak dari dudukku di halte terminal. Sebentar kugibas gibaskan bokongku dgn dua telapak tanganku, melepaskan pekatnya debu dari bangku cor coran yg kududuki.
Kulanjutkan langkahku menuju sebuah lorong dibawah jembatan besi, tdk ada sungai dibawahnya melainkan jalan beraspal, bukan jalan air tapi jalan raya, tempat lalu lalangnya kendaraan bermotor.
Lorong itulah penghubung jalan dari terminal kebelakang jalan Protokol menuju jalan desa tempat dimana banyak becak mangkal..
"Mang Kardi biasanya ada disana".
Mang Kardi orangnya lugu dan gak suka neko neko, istilah jawanya nrimo..
Tawanya yg khas, dgn suaranya yg nyaring bulat membuat orang mudah mengingatnya..
Foto
Becak
Mang Kardi itu orangnya baik, jujur lagi taat juga beribadah,
Mang Kardi tinggal bersama istrinya bi Atun dan dua orang anaknya Mimin dan Mamo..mungkin mereka sudah besar besar sekarang, utamanya Mamo..,waktu aku klas 2 SMA saja kala itu Mamo sdh klas 1 SMP...dia juga yg berjasa menunjukan tempat persembunyian yg aman di belakang rumahnya di bantaran sungai..kalau tidak , entahlah sdh jd apa aku saat di kejar kejar puluhan pelajar sekolah musuh bebuyutan sekolahku.. sekolah yg hampir seperti langganan saja tawuran..
Dua sekolah yang jaraknya tak lebih dari 1 km itu memang kerap berbenturan, hanya karna perkara sepele saja bisa jatuh korban.. dan lucunya perselisihan itu kadang berimbas pd hubunganku dgn Dita, Bukan kebetulan tapi memang Dita siswi sekolah yg jadi lawan sekolahku..
"Dita" yah "Dita yg sedang kucari berikut catatanku yg hilang..
Belum sampai sejak tadi aku berjalan..rumah mang Kardi masih dua tikungan lagi pangkalanya pun tak jauh dari sana didepan warung kopi..
Sejenak aku berhenti disebuah gardu.. tempat pertama kali aku nekad mengatakan kalau Dita itu cantik...
Ah, aku jadi senyum sendirian, mengenang kekonyolan mudaku..saat aku tatap matanya dan kukatakan..
"Aku belum pernah melihat bidadari meski cuma sayapnya..tapi aku yakin kamu lebih cantik dari sejuta bidadari", pipinya merona, matanya berbinar,senyumanmupun kau sumbat dgn bibir merahmu, lalu kau rebahkan keningmu didadaku, sekejap itu asaku berbunga bunga, seakan hati ini ditawan riang tanpa batas.
"Bluk..!!", tiba tiba sejuluran tangan menepuk pundak kananku, menepis lamunanku..
"Ini Mas Mahi kan..?!" Ucap sipemilik tangan mendahului keterkejutanku. Oh, Mang Kardi rupanya sudah ada disebelahku,tanganya masih tetap di pundakku, kubiarkan, keakraban itu hadir lagi setelah beberapa tahun tak bertemu,
"Mang Kardi..?!" Balasku bertanya.
Laki laki itu malah tertawa lebar " senang sekali dia.." pikirku.
"Ngapain mas Mahi disini..? Sendirian...lagi ngelamun ya..hayoo..?!". Jari telunjuk mang Kardi mampir kedada kananku. Aku cuma tersenyum kecil, belum sempat menjawab, mang Kardi sudah lebih dulu menarik tas ransel dari pundaku, yg cuma berisi sedikit pakaian kotor, sikat gigi dan sabun mandi..
"Hayooh..naik becak saya..!" Seru mang Kardi sembari menenteng tasku..
"Kemana Mang..?" Tanyaku..
"Kerumah.."jawab Mang Kardi tanpa menoleh dan terus berjalan membelakangiku menuju becaknya. Seperti kerbau dicocok hidung , aku menuruti saja perintahnya..
Diatas becak, obrolan bersambung .
"Gimana mas kabarnya? Lama gak gak ketemu ?"..
"Alhamdulillah baik mang.." jawabku sembari membasuh mukaku dgn sapu tangan.
Tak sampai beberapa menit saja sudah sampai didepan rumah Mang Kardi.
Masih seperti yg dulu pandangku kesekitarnya. Cuma beda warna cat dindingnya, kelihatanya baru di cat, tampak cerah, dan bedanga lagi pohon jambu kelutuk yg dulu kecil ditansm dlm kaleng bekas biskuit, sekarang sudah berdiri kokoh bercabang cabang.
"Sudah pernah berbuah Kang, jambnya..?ini yg dulu kecil kan ?" Tanyaku sebelum di persilahkan masuk.
"Iya ..mas, hebat ya..berapa tahun kita gak ketemu pohon ini sampai sudah sebesar ini.., banyak mas buahnya, manis manis lagi kalau sedang musing."jelas mang kardi Panjang.
"Hayo.., masuk mas " ujarnya mempersilahkan.
Kuamati sudut sudut ruangan, tdk tampak satu hiasan dindingpun, cuma dalam almari etale kaca ada tampak sebuah foto Becak milik mang Kardi, seingatku itu aku yg memotretnya ditengah malam didepan terminal beberapa tahun yg lalu. Tersimpan rapi dan diberi bingkai kayu ukuran 10 R. Sungguh mencintai pekerjaanya, Mang Kardi ini..
Tak lama, Bi Atun keluar dari balik kain tirai pemisah antara ruang tamu dengan ruang belakang, tergopoh gopoh ia menghampiri tanganku lalu menjabatku, aku sambut dgn berdiri..
"Waah. Mas Mahi ya.., udah lama gak kesini..? Tanya bi Atun padaku.."sendiri ya ..?" Lanjutnya.
"Iya bi.." jawabku singkat.
"Lo..mbak Dita gak diajak..?" Tanya bi Atun sambil melepaskan pandanganya keluar.
Pertanyaan bi Atun membuatku tersanjung. Karna akupun berharap Dita ada didekatku kali ini..
"Ah..ngak bi.., Dita dimanapun sekarang saya gak tau bi.." jawabku malu.
"Oh, maaf, bibi kira masih sama mbak Dita, malah bibi kira juga sudah menikah..?!"..
"Ah .. bi Atun bisa aja..".ku lempar senyum seolah tak peduli dgn Dita. Padahal dada ini kembang kempis memikirkanya.
"Iya..soalnya dulu bibi liat udah lengket banget, kayanya gak mungkin lepas lagi.." sambung bi Atun tersenyum..
"Yaa..kan saya juga sudah bilang.."ucap mang Kardi sambil mengancingkan benik baju kokonya yg paling atas dan kemudian tanganya menyambar gelas kopi untuk meneguknya sebelum dilanjutkan bicaranya.
Mang Kardi kmudian duduk disamping bi Atun diletakanya gelas kopi, setelah menyapu mulutnya dari ampas kopi dgn jarinya. Mang Kardi melanjutkan bicara,
"Dulu..mamang pernah bilang..bahwa Hidup, Mati dan jodoh itu di Tangan Tuhan..sampai sampi .. mamang juga menyatukan nama .., kalau mas Mahi masih ingat..?!", jelas mang Kardi memandangku.
"Ya ya..saya madih ingat mang.."jawabku meyakinkan mang Kardi sambil ku angguk anggukan kepalaku.
"Ma..Hi..Di..Ta..Tu.."eja mang Kardi persuku kata..yang jadi singkatan.
Mati Hidup Di Tangan Tuhan..
Berasal dari dua nama Mahi dan Dita .
"Iya to.."kenang mang Kardi upaya mengingatkanku
Lalu aku tertawa...membuat kedua orang tua didepanku saling beradu pandang keheranan..
"Kenapa ketawa mas..? Tnya mereka hampir serempak..
"Hahaha..gak papa Mang, Bi.." saya tertawa karena senang, haru bercampur sedih..." jelasku pada mereka.
"Pertama senang karena Mahiditatu itu nama bisnisku, kedua haru karena bertemu lagi dgn pemberi nama itu, dan ketiga sedih karena Dita belum aku temui.." jelasku panjang lebar..kemuadian kamipun tertawa bersama sama dan lanjut percakapan ngalor ngidul hingga tanpa sadar malampun smakin larut, untuk akh harus pamitan pulang.
Pukul 21.15, aku pamitan dari rumah Mang Kardi. Kulanjutkan langkah kaki ini, belum ingin pulang rasanya..kota juga belum tidur, banyak masih orang sliweran di jalan, aku coba ke alun alun, ramai muda mudi bercengkrama disini.ditrotoar jalan masih banyak kaki lima. Tepat disebelah selatan alun alun yg berhadapan dgn masjid, berhenti langkahku. Pedagang susu jahe tersenyum menyambutku.
"Bikin satu pak..susu jahe!" Pintaku. Penjual susu jahepun menarik sebuah kursi plastiK dan disodorkanya kedekatku.
"Silahkan Mas.." ucapnya ramah. Tak lama segelas susu jahepun disuguhinya.
Baru setegukan aku nikmati, sebuah pemandangan menarik perhatianku..dua orang anak berlarian menyeberangi jalan dari sebuah rumah makan, rupanya dikejar seorang ibu yg pontang panting memburunya, dua anak itu berlarian melintas dihadapanku, karena kalah tenaga si ibu pemburu dgn napas tersengal sengal menghentikan larinya, kemudian mengambil sebatang kayu dari ranting angsana yg patah dan melemparkanya kearah kedua anak itu. Tapi tak sampai sasaran si ibu memaki..
"Dasar gembel.!" Begitu umpatnya. Sambil bergerutu tak jelas iapun balik arah kembali keseberang.
Aku tercengang ibu itu bilang gembel...
"Knapa itu pak..?",Selidikku pd pedagang sujae..
"Biasa mas. Paling berebut nasi lebihan dari rumah makan.." jawab pedagang itu santai..sepertinya pemandangan biasa ditempat itu setiap malamnya.
Ku lanjutkan tegukan demi tegukan berikutnya, sampai dasar gelas.
"Berapa Pak..?" Kurogoh kocek dikantung celana.
"Lima ribu mas" jwb sipenjual sujae.
"Ini pas ya pak..?!" Kuserahkan uang lima ribu cetakan baru sebagai bayaranya, dan berlalu.
Tidur malamku cuma sedikit, meski pagi ini aku belum ada tugas, tetap saja kebiasaan bangun pagi sudah jadi keharusan.
"Bangun pagi sebelum ayam patuk rejeki.." begitu nenek bilang dulu.
Repotnya aku masih tinggal sendiri, disebuah rumah kos sederhana di jl.Jambu no 3.
Belum lama, baru seminggu aku tempati rumah kos ini, baru saja ketika aku mulai berpikir untuk mencari Dita dan Catatan yang hilang , yg membuat kesepianku berkapanjangan.
Pagi itu di depan rumah kos, kulepaskan anganku sejauh mata memandang, aku berangan suatu saat ada yg hadir dari sudut gang sana, dari sebuah tugu perbatasan antara kota dengan kabupaten dimana dulu tempat langganan pertemuanku dgn Dita tiap kali pulang sekolah. Dan aku menyebutnya tugu kesetiaan. Kini semua itu sirna tinggal menjadi kenangan, akankah kembali?.
Enam bulan kemudian, semuanya belum berakhir,ruang dan waktu memaksaku berhenti, kelelahan membawaku ketengah padang harapan tanpa tepi, tanpa batas, tak berujung tak berpangkal..akupun tersimpuh duduk dihadapan pusara bernisan kayu tertulis namamu disana "telah wafat Dita ku tercinta". Pupus sudah harapanku bersama catatanku yg hilang.
T A M A T